Sebelumnya telah kita buktikan bawa para penganut agama-agama
samawi meyakini bahwa Allah memiliki kalam dan berbicara. Dan berbicara adalah
salah satu dari sifat Allah. Mereka meyakini bahwa Allah berbicara dengan para
nabi dan dengan perantaraan para nabi itu Allah menyampaikan dan menurunkan
perintah serta larangan-Nya. Yang menjadi pokok pembahasan kita kali ini ialah
apakah kalam Ilahi itu bersifat hadis (sesuatu yang tercipta) atau qadim
(bersifat azali)?
Pembahasan mengenai qadim atau hadisnya kalam Ilahi merupakan
salah satu pembahasan teologi di awal terbitnya agama Islam
dan juga merupakan pembahasan teologi yang dipandang paling rumit dan selalu
menjadi pembahasan dalam sepanjang sejarah Islam.
Pembahasan ini tidak hanya dibahas oleh umat islam, tetapi juga telah dikaji sebelumnya oleh para penganut agama Kristen.
Dengan melihat relasi antara umat Islam dan umat Kristen bisa
kita perkirakan terjalin keterikatan saling mempengaruhi dalam masalah akidah
dimana hal ini bisa dibuktikan dengan merujuk kepada kitab-kitab sejarah dan
kitab-kitab teologi.
Sebenarnya pembahasan apakah kalam Ilahi itu bersifat qadim atau
hadis terdapat banyak pendapat dan akan kami sebutkan sebagai berikut:
1. Mazhab Hanbali
Pengikut Ahmad bin Hanbal memandang bahwa kalam Ilahi itu
berasal dari suara dan huruf yang ada dalam zat Allah Swt dan termasuk qadim.
Sampai-sampai sebagian dari mereka meyakini secara ekstirm bahwa jilid dan
pembungkus kitab al-Quran itu pun termasuk qadim. Untuk membuktikan
pendapatnya, mereka mengemukakan dalil sebagai berikut:
“Pertama bahwa zat Allah itu qadim, dan kedua adalah bahwa kalam
itu sebagai sifat Allah, sifat bagi zat yang qadim harus juga qadim karena
apabila sifat bagi zat qadim itu adalah hadis (baru-tercipta) maka akan
menyebabkan perubahan pada zat qadim tersebut dan perubahan pada zat Allah
adalah mustahil. Oleh karena itu, kalam Ilahi yang merupakan sifat Allah adalah
qadim.“[1]
Untuk menjawab pandangan Mazhab Hanbali ini kita bisa mengatakan
bahwa tidak ada keraguan bahwa Allah itu Mutakallim (subyek yang berbicara),
tetapi makna ke-berbicara-an adalah yang darinya tercipta suatu kalam atau
ucapan dan bukan yang senantiasa melakukan perbuatan berbicara itu.
Allah memiliki sifat berbicara dan bukan memiliki sifat kalam
atau bicara. Kalam, bicara, ucapan, dan firman adalah sesuatu yang baru (hadis).
Dan zat Allah Swt yang memiliki sifat berbicara bukan bermakna bahwa zat itu
yang menjadi sumber dan asal bagi bicara,
kalam, firman, dan ucapan sehingga dipandang sebagai hal yang qadim.
Qadhi ‘Adhiduddin mengatakan bahwa secara jelas bahwa akidah
Hanbali mengenai hal itu adalah batil. Beliau menulis sebagai berikut, “kalam
adalah sebuah eksistensi gradual yang antara satu huruf dengan huruf yang lain
tercipta saling kebergantungan dan hal itu berarti hadis, kalam yang tersusun
dari peristiwa tersebut maka pasti juga bersifat baru. Kalam adalah sebuah
eksistensi yang berawal dan berakhir, oleh karena itu ia bersifat baru.“[2]
2. Aliran Karamiyah
Aliran Karamiyah meyakini bahwa kalam Ilahi
terdiri dari suara dan huruf-huruf, dan kalam Ilahi itu bersifat hadis dan
menyatu dengan zat Allah Swt, dan mereka mengatakan bahwa tidak ada masalah
menggandengkan sifat hadis pada yang zat yang qadim.[3]
Allamah Hilli mengomentari pendapat Karamiyah sebagai berikut,
“Wajib al-Wujud (Allah Swt) tidak menerima sifat yang hadis (yang baru) dengan
tiga dalil: pertama, ke-hadis-an dan ke-baru-an pada zat Allah
menyebabkan perubahan yang bersifat reaktif dalam diri-Nya dimana hal ini
sangat berkontradiksi dengan zat Wajib al-Wujud, karena setiap perubahan itu
merupakan sifat bagi benda-materi dan Allah bukanlah materi dan benda. Kedua,
jika Allah Swt dipandang sebagai sebab dari sifat yang hadis ini, maka sifat
yang hadis itu pun harus azali, karena sebabnya adalah azali, sementara anda
mengatakan bahwa hadis tersebut adalah sesuatu yang baru terwujud (yakni pernah
tiada dan sekarang menjadi ada), dan jika zat sebab itu bukan zat Wajib
al-Wujud maka kemestiannya adalah bahwa dia memiliki sifat hadis dan
membutuhkan kepada sesuatu yang lain, dan hal ini juga tidak layak bagi Wajib
al-Wujud. Ketiga, hadis itu jika termasuk sifat kamaliyah (sifat kesempurnaan)
maka mustahil sifat tersebut tidak termasuk dalam jajaran sifat-sifat Tuhan,
karena Tuhan niscaya memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan apabila hadis itu
merupakan sifat cacat dan kekurangan maka mustahil Tuhan memiliki sifat
tersebut.[4]
3. Akidah Asy’ariah
Kaum Asy’ariah meyakini bahwa kalam itu adalah qadim dan menyatu
dengan zat Allah. Abu al-Hasan al-Asy’ary berkata, “Allah berbicara
dengan kalam, dan kalam-Nya itu bersifat qadim, karena raja memiliki kekuasaan
pada rakyat, dan penguasa senantiasa memerintah dan melarang rakyatnya, maka
dia adalah penguasa. Penguasa apakah memerintahkan sesuatu yang qadim atau
memerintahakan sesuatu yang hadis. Jika hadis maka apakah dia akan menyatu dan
eksis pada zat Allah itu sendiri? Hadis mustahil menyatu dan eksis pada zat
Allah karena akan menyebabkan zat Allah sebagai wadah bagi hadirnya sesuatu
yang baru. Dan hal ini pasti mustahil. Demikian pula, mustahil kalam itu
menyatu dan eksis pada wadah yang lain, karena akan menyebabkan wadah tersebut
memiliki sifat kalam dan akan disebut sebagai mutakkalim. Demikian pula,
mustahil eksis pada wadah selain zat Allah, oleh karena itu kalam Allah itu bersifat qadim dan eksis pada zat Allah serta menjadi sifat Allah.“[5]
Kemudian Abu al-Hasan al-Asy’ary melanjutkan, “Kalam Allah tidak
lebih dari satu dengan ibarat yang beraneka ragam yang diberi nama perintah,
larangan, berita, janji dan ancaman. Kesemuanya itu tidak lebih dari satu
hakikat. Muatan dan kandungan kalam Ilahi yang azali dan malaikat
menyampaikannya kepada para nabi dengan indikasi-indikasi, alamat, dan
tanda-tanda kalam, namun bukan kalam Allah yang azali. Indikasi, alamat, dan
tanda adalah makhluk dan hadis, akan tetapi isi, makna, dan kandungan kalam
Ilahi yang bersifat qadim dan azali. Perbedaan antara bacaan dan yang dibaca,
menelaah dan yang ditelaah seperti perbedaan antara ingatan dan yang diingat,
zikir atau ingatan adalah hadis akan tetapi yang diingat itu adalah qadim.”[6]
Syahrestany setelah menukil ungkapan tersebut menjelaskan akidah
Asy’ariah dalam masalah kalam Ilahi sebagai berikut, “Kalam dalam pandangan
Asy’ariah adalah maknanya yang menyatu dan eksis pada jiwa sang
mutakallim, tetapi tidak menyatu dengan lafas dan ibarat. Ibarat adalah indikaasi-indikasi
dari kalam manusia. Oleh karena itu, mutakallim adalah seseorang yang menyatu
kalam dan eksis pada dirinya. Hal ini berbeda dengan Muktazilah mengatakan
bahwa mutakallim adalah orang yang mencipta kalam dan lahir dari dirinya.
Menurut Asy’ariah
penggunaan kalam pada ibarat adalah heteronim atau bersifat majazi.“[7]
Oleh karena itu, dalam akidah Asy’ariah kalam itu akan terwujud
secara berangsur-angsur dan hadis dalam bentuk ibarat dan lafaz. Ibarat dan
lafaz itu tidak menyatu dengan zat Allah dan tidak bisa dikatakan hakikat kalam
Allah, tetapi mereka meyakini bahwa kalam hakiki Allah adalah makna dari
kata-kata yang dilafazkan yang bersifat qadim dan menyatu serta eksis pada zat
Allah Swt. Dalam menjelaskan makna kalam nafsi mereka mengatakan sebagai
berikut, “Mutakallim sebelum berbicara pada saat yang sama ada dalam pikirannya
makna kata-kata yang kemudian akan diiucapkan dan kalam yang dilafazkan
itulah yang akan mengindikasikannya, mutakallim dengan melafazkan kata-kata
bermaksud memberitahukan makna yang ada dalam pikirannya dan menyampaikan
kepada para pendengar, makna yang ada dalam pikiran pembicara inilah yang
disebut dengan kalam nafsi.
Dikatakan bahwa, “Kalam nafsi
tidak lebih dari satu hakikat yang terwujud dalam bahasa yang beraneka ragam
dan bahkan bisa hadir dalam bentuk tulisan dan isyarah.“
Dikatakan bahwa, “Kalam nafsi bukan ilmu karena manusia
terkadang menyampaikan sesuatu padahal dia tidak memiliki pengetahuan terhadap
hal tersebut, dan terkadang menyampaikan sesuatu yang kenyataannya bertentangan
dengan apa yang disampaikan. Kalam nafsi bukan iradah karena manusia
terkadang memerintahkan sesuatu padahal dia tidak menginginkan hal tersebut
terjadi akan tetapi tujuannya adalah menguji orang yang diperintah. Oleh
karena itu, kalam nafsi tidak termasuk kategori ilmu dan iradah, akan
tetapi sesuatu yang lain yang terkait dengan obyeknya dimana terbagi dalam
bentuk perintah dan larangan, berita, pertanyaan, dan panggilan.“
Dikatakan bahwa, “Hakikat kalam adalah kalam nafsi itu
sendiri yang qadim dan eksis pada zat Allah, oleh sebab itu Allah disebut
Mutakallim.”[8]
Akan tetapi, Muktazilah dan Imamiah menganggap bahwa kalam nafsi
ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak benar. Mereka mengatakan
sebagai berikut, “Kalam hakiki dalam pandangan umum masyarakat adalah suara dan
huruf yang dilafazkan yang tercipta dengan perantaraan mutakallim dan bukan
maknanya, dan untuk membuktikan hal yang sangat penting ini dengan bersandar
kepada perkataan seorang penyair adalah bukan hal yang bersifat ilmiah, kedua
eksistensi makna kata yang ada dalam pikiran mutakallim bisa diterima, akan
tetapi hanya sebagai sebuah konsepsi dan pembenaran, mutakallim ketika
berbicara akan menggambarkan makna lafaz tersebut dan berdasarkan makna yang
ada dalam pikirannya dia berbicara. Menggambarkan suatu konsep terkadang
dibarengi dengan pembenaran (tashdiq), tetapi terkadang juga tidak.
Dalam masalah yang dia tidak yakini akan tetapi dia memberikannya, maka dia
akan menggambarkan kata-kata tersebut tetapi tidak membenarkannya. Dalam
masalah ujian dan cobaan juga akan menggambarkan kata-kata dan maknanya, ada
keinginan untuk menyampaikan kata-kata tersebut walaupun tidak menginginkan
untuk terlaksananya perbuatan yang diperintahkan itu, singkat kata, kalam nafsi
itu tidak ada, yang ada hanyalah konsepsi, pembenaran, dan iradah.”[9]
4. Akidah Imamiah dan Muktazilah
Imamiah dan Muktazilah setelah menggugurkan pandangan Asy’ariah,
berpendapat bahwa kalam Ilahi itu adalah hadis dan mereka mengatakan sebagai
berikut: “Kalam Ilahi seperti kalam manusia yang terdiri dari huruf dan suara
yang mengindikasikan sebuah makna khusus yang berada pada lauh al-mahfuz
atau di hati Jibril As. Perbedaannya adalah manusia ketika hendak mengungkapkan
kalam membutuhkan lidah dan mulut serta tempat keluarnya huruf-huruf (makharij
al-huruf), sementara Allah tidak membutuhkan hal tersebut. Oleh karena itu,
kalam memiliki eksistensi gradual dan sistematik yang berarti hadis.
Kalam itu terdapat di tempat lain, tetapi bukan pada zat Allah.
Yang dimaksud dengan Allah sebagai Sang Mutakallim adalah tercipta dan terlahir
kalam darinya, bukan bermakna bahwa kalam itu menyatu dan eksis pada dirinya,
atau dengan kata lain, kalam itu bersumber dari mutakallim seperti
pekerjaan memukul atau membunuh, pekerjaan ini tidak eksis dan menyatu dengan
subyeknya, hal ini berbeda dengan suatu sifat seperti mengetahui, kodrat, atau
warna hitam dan putih dimana menyau dengan zatnya”.
Oleh karena itu, takallum (berbicara) yang bermakna
menciptakan dan mengadakan suara dan huruf adalah sifat Allah, bukan kalam itu
yang sebagai sifat Allah, tetapi kalam itu sendiri merupakan akibat dari sifat takallum.
Dikatakan, “Allah
menciptakan dan mengadakan suara dan huruf yang memiliki makna dan kemudian hadir dalam bentuk berita, perintah, larangan, atau pertanyaan
di lauh al-mahfudz atau di hati Jibril As, di hati para nabi atau di
salah satu benda seperti pohon untuk Nabi
Musa As, dengan perantaan inilah Allah menyampaikan maksud dan pesan-Nya. Oleh
karena itu, kalam Ilahi adalah salah satu dari perbuatan Allah dan hadis,
seperti mencipta, memberi rezki, menghidupkan dan mematikan.“[10]
Miqdad bin Abdullah Sayury menulis sebagai berikut, “Makna dari
Allah berbicara bukan seperti manusia yang berbicara dengan perantaraan
anggota badan khusus, karena Allah bukan benda sehingga membutuhkan anggota
badan, tetapi maksud dari Tuhan berbicara adalah mengadakan dan menciptakan huruf
dan suara pada satu tempat.”[11]
Allamah Hilli dan Fadhil Miqdad berpendapat bahwa kalam Allah
itu berupa suara dan huruf-huruf.[12]
Syekh Mufid ketika menjawab pertanyaan berikut bagaimana Allah
berdialog dengan Nabi Musa As?
Beliau menjawab: dialog Allah dengan Nabi Musa As adalah dengan
cara Allah menciptakan kalam pada sebatang pohon yang kemudian dengan
perantaraannyalah sampai kepada Nabi Musa As, kalam tidak mengharuskan adanya
perubahan kualitas pada pembicara, akan tetapi hanya membutuhkan tempat untuk
pengejewantahannya.[13]
Syekh Mufid di tempat lain menulis sebagai berikut: “Allah sebagai Mutakallim, yakni bukan dengan perantaraan
anggota badan akan tetapi dengan perantaraan makna dimana huruf dan suara yang
menjadi indikasi bagi makna
itu, huruf dan suara ini kemudian tercipta pada
salah satu benda-benda seperti ketika Allah
berbicara dengan Nabi Musa As dengan perantaraan sebatang pohon.“[14]
Sebagaimana anda ketahui bahwa Muktazilah dan Imamiah meyakini
bahwa kalam Ilahi itu adalah suara dan huruf-huruf yang memiliki makna yang
Allah ciptakan pada suatu tempat, dan dengan perantaraan inilah Allah
menyampaikan maksud dan tujuan-Nya. Kalam Ilahi memiliki eksistensi gradual dan
hadis dalam rentangan zaman dan waktu, dan maksud dari Allah sebagai Mutakallim
adalah Allah menciptakan suara dan huruf-huruf. Sumber dan asal kalam Allah
adalah sifat kodrat dan iradah-Nya yang tanpa membutuhkan lidah dan mulut.
Sebuah Kritikan dan jawaban
Kritikan pertama: Anda mengatakan bahwa jika iradah dan kodrat
Ilahi itu hadis ketika menciptakan suara dan huruf-huruf maka konsekuensinya
adalah zat Allah Swt menjadi tempat terjadinya sesuatu yang hadis, sementara
hal ini telah dibuktikan tidak benar dan batil. Dan jika iradah dan kodrat
Allah itu qadim maka keniscayaannya adalah kalam itu juga qadim, karena
berbedanya akibat dari sebab adalah sesuatu yang batil.
Jawaban: Bisa dikatakan bahwa sumber kalam Ilahi yaitu iradah dan kodrat
adalah zat Allah itu sendiri dan qadim, akan tetapi, sesuatu yang satu, yang
menciptakan hal-hal hadis sangat berkaitan dengan sebab dan akibat, kondisi dan
lingkungan yang mendukung serta syara-syarat lain yang diperlukan sepanjang
zaman. Dalam sepanjang sejarah, setiap kali dianggap perlu mengutus nabi dan
ada seseorang manusia memiliki potensi untuk mendengar kalam Ilahi, maka iradah
Allah akan terkait dengan penciptaan suara dan huruf-huruf, dan dengan
perantaraan inilah Allah menyampaikan wahyu-Nya dan menyerahkan sepenuhnya
kepada nabi-Nya tersebut.
Kritikan kedua: Jika kalam Ilahi adalah suara dan huruf-huruf
ini dan tersusun seperti kata-kata manusia, maka seharusnya orang yang ada di
sekitar para nabi pun mendengar suara Allah Swt ketika Allah berdialog dengan
nabi-Nya, sementara menurut kesaksian sejarah hal tersebut tidak pernah
terjadi. Keluarga Rassulullah serta para sahabat ketika turun wahyu hanya
menyaksikan tanda-tanda wahyu itu, akan tetapi tidak mendengar kalam Ilahi.
Kritikan ketiga: Sebelumnya dalam definisi wahyu telah
disebutkan bahwa makna wahyu adalah cepat dalam perilhamannya,
tersembunyi dari yang lain dan
bersifat rahasia. Jika kalam Ilahi adalah suara dan
huruf-huruf maka tidak memiliki kedua syarat
tersebut. Maka dari itu definisi wahyu tidak benar, oleh karena itu keyakinan
Muktazilah dan Imamiah dalam masalah kalam Ilahi itu memiliki problem dan tidak
jelas.
Aliran Jabaiyyah dan Bahsyamiyyah mengatakan: Allah sebagai
Mutakallim yakni Dia menciptakan kalam pada sebuah tempat. Hakikat kalam
menurut mereka adalah suara dan huruf-huruf yang sistematik dan Sang
Mutakallim adalah yang menciptakan kalam dan bahwa kalam itu tidak menyatu dan
tidak eksis pada diri-Nya.[15]
5. Pandangan Mu’ammar bin Ubbad dan Sebagian Ilmuwan Kristen.
Sekelompok orang berpendapat bahwa Allah tidak memiliki kalam
dan al-Quran
bukan perbuatan Tuhan, akan tetapi perbuatan suatu benda yang menerima kalam
tersebut. Muammar bin Ubbad meyakini bahwa Allah pencipta benda-benda yang
substansial dan sesuatu yang aksidental itu merupakan hasil perbuatan dari
benda substansial. Oleh karena itu, al-Quran dan kalam karena merupakan hal-hal
yang aksidental, maka tidak bisa dikatakan sebagai perbuatan Allah, karena
Allah bukan benda yang substansial.
Syahrestany menukil dari Muammar sebagai berikut: “Allah tidak
menciptakan sesuatu selain benda, sementara hal-hal yang aksidental adalah
hasil ciptaan benda, baik ciptaan itu secara alamiah dan natural seperti api
menghasilkan kekuatan membakar dan matahari menciptakan panas, ataukah dengan
iradah dan ikhtiar seperti hewan menciptakan gerak dan diam.“
Syahrestani melanjutkan sebagai berikut: Inti perkataan Mu’ammar
bin Ubbad adalah Allah sama sekali tidak memiliki kalam karena kalam itu adalah
suatu yang aksidental, dan apabila tidak memiliki kalam maka Dia tidak
memiliki perintah dan larangan, dan jika perintah dan larangan tidak ada maka
syariat pun tidak ada.“[16]
Abu al Hasan al Asyari menulis, “Pendukung mazhab Muammar
meyakini bahwa al-Quran itu adalah sesuatu yang aksidental, dan hal-hal yang
aksidental dalam pandangan mereka terbagi dua, sebagian merupakan hasil
perbuatan dari sesuatu yang memiliki ruh dan sebagian yang lain merupakan hasil
perbuatan dari sesuatu yang tidak memiliki ruh, dan hasil perbuatan dari
sesuatu yang tidak memiliki ruh tidak bisa berubah menjadi hasil perbuatan dari
sesuatu yang memiliki ruh.
Al-Quran adalah sesuatu yang aksidental, dan mustahil Allah
menciptakan dan menurunkan al-Quran. Karena menurut mereka, mustahil sesuatu
yang aksidental itu terlahir dari perbuatan Allah. Mereka mengatakan bahwa
al-Quran adalah terwujud dari suatu tempat yang memancarkan kalam itu. Jika
dari pohon terdengar suatu kalam maka kalam itu merupakan hasil perbuatan dari
pohon tersebut, dan di mana saja kalam itu terdengar maka itu merupakan hasil
perbuatan tempat tersebut.[17]
Dalam catatan Rawandi dan Khayaat tertulis: “Mu’ammar
meyakini bahwa al-Quran bukan hasil perbuatan Allah, dan bukan sifat Tuhan,
akan tetapi suatu kejadian yang hadir secara alamiah dan natural.[18]
Penulis kitab Falsafay-e Ilm-e Kalam menulis sebagai
berikut, “Dengan mengumpulkan seluruh catatan
yang bertebaran kita dapat menyimpulkan pendapat Mu’ammar sebagai berikut:
“Kalam Ilahi bukanlah sifat yang menyatu pada zat Allah sebagaimana keyakinan
Sunni, dan bukan sesuatu yang ada di lauh al mahfudz sebagaimana yang
digambarkan oleh Muktazilah sertan bukan sebagaimana yang dikatakan Nizzam,
tetapi kalam tercipta dengan perantaraan sebagian benda dimana Allah secara
khusus menciptakan benda itu supaya mengeluarkan suara. Dan dengan suara itulah
wahyu Allah disampaikan ke umat manusia, benda-benda tersebut memiliki bentuk
khusus dan istimewa yang diciptakan Allah secara khusus untuk menyampaikan
kalam Allah kepada umat manusia, seperti pohon yang menjadi mediator Allah
dalam berdialog dengan Nabi Musa As, demikian pula para nabi termasuk Nabi
Muhammad saw berdialog dengan Allah melalui perantaraan benda tersebut yang
dalam bentuk manusia.
Dengan demikian, Allah hanya menciptakan secara langsung benda
seperti pohon dan badan para nabi, mereka diciptakan secara
khusus sedemikian rupa sehingga bisa mengeluarkan kalam secara majazi yang
disebut kalam Allah. Akan tetapi, perbuatan
menciptakan kalam itu terjadi secara alamiah, demikian pula halnya dengan
fenomena pohon bagi Nabi Musa As, ataukah dengan hasil ikhtiar dari mayoritas
para nabi. Oleh karena itu, al-Quran merupakan hasil karya manusia. Karya
ini memiliki unsur Ilahiah karena nabi yang menciptakannya dengan bekal
kemampuan yang bersumber dari sisi Allah Swt, dan Allah menciptakan para nabi
sebagai wakil dan perpanjangan tangan dari iradah Allah.“[19]
Pandangan tersebut juga diyakini oleh sebagian ilmuwan kristen
sebagaimana dikutip, “Dalam
naskah tercatat bahwa wahyu asli adalah Masehi itu sendiri, kalimat Allah dalam
bentuk manusia, kitab suci hanyalah kitab tulisan tangan manusia yang
menjadi saksi atas hakikat wahyu tersebut. Perbuatan Allah dalam eksistensi
masehi dan kitab suci hadir dengan perantaraan masehi, dan kitab suci itu tidak
hadir dengan cara pendiktean langsung dari Allah.“[20]
Di tempat lain tercatat: “Allah menurunkan wahyu bukan dengan
mendiktekan sebuah
kitab yang terjaga dari segala bentuk penyelewengan dan kesalahan, akan tetapi
hadir dari kehidupan Masehi, seluruh nabi,
dan bani Israel, dalam hal ini kitab suci bukanlah wahyu langsung dari Tuhan,
akan tetapi hasil dari kesaksian manusia sebagai refleksi atas wahyu dan
terkait dengan pengalaman batin manusia.”[21]
Kesimpulan dari kajian di atas adalah al-Quran dan seluruh kitab
suci samawi bukan ciptaan Tuhan, akan tetapi hasil perbuatan para nabi dimana
Allah menciptakan wujud mereka dalam kondisi yang istimewa sedemikian sehingga
mampu menyampaikan tujuan, iradah, maksud dan penjelasan Allah Swt, dan dengan
jalan inilah mereka menisbahkan kitab suci itu kepada Allah Swt yang berisi
perintah, larangan, berita dan membawa kabar gembira.
Argumentasi akidah mereka sama dengan argumentasi Mu’ammar bin
Ubbad sebagai berikut: karena kalam Ilahi adalah sesuatu yang aksidental dan
Tuhan hanya menciptakan benda yang nonaksidental, maka kalam itu bukan perbuatan
Tuhan, akan tetapi perbuatan manusia atau kalam tersebut bersumber dari suatu
tempat tertentu.
Konsekuensi dari pendapat ini adalah menginkari wahyu dan
ke-berbicara-an Tuhan, bahkan akidah tersebut bertentangan dengan fondasi
dasar agama-agama samawi, kontradiksi dengan nash-nash yang ada dalam al-Quran al-Karim. Dalam al-Quran al-Karim banyak sekali
ayat yang menyinggung masalah ke-berbicara-an Tuhan, sebagai contoh, “Rasul-rasul
itu kami lebihkan sebagian atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang
Allah berkata-kata (langsung dengan dia).“ (Qs. Al-Baqarah: 253)
Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan (kami telah mengutus)
rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu.
Dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah
telah berbicara kepada Nabi Musa As dengan langsung.” (Qs. Al-Nisa’:164)
Ayat selanjutnya, “Dan tidak mungkin bagi seseorang
manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu
atau dibelakan tabir atau dengan mengutus seorang utusan malaikat lalu
diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya Dia
Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Syura: 51)
Di samping itu dalam beberapa ayat djelaskan bahwa
al-Quran dan kitab datang dari Allah Swt sebagai contoh, “Dia menurunkan
al-Kitab (al-Quran) kepadamu dengan sebenarnya membenarkan kitab yang telah
diturunkan sebelumnya dan menurunkan taurat dan injil.” (Qs. Ali
Imran: 3)
Dalam ayat lain disebutkan, “Dan ingatlah Ketika Kami berikan
kepada Musa al-Kitab (taurat) dan al-Furqan (keterangan yang membedakan antara
haq dan batil) agar supaya kamu sekalian mendapat petunjuk”. (Qs.
Al-Baqarah: 53)
Allah berfirman, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al
quran kalau kiranya al quranitu bukan dari sisi allah tentulah mereka
mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya”. (Qs. Al-Nisa’: 82)
Allah berfirman, “Dan
al-Quran itu diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan
kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Quran kepadanya”. (Qs.
Al-An’am: 19)
Allah berfirman, “Dan apa yang
telah kami wahyukan kepadamu yaitu al-Kitab (al-Quran) itulah yang benar,
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya.” (Qs. Fathir : 31)
Allah berfirman, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar di beri
al-Quran dari sisi Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui”. (Qs.
An-Namal: 6)
Dari ayat-ayat yang telah kami sebutkan dan puluhan ayat lain
dapat disimpulkan bahwa Allah berdiallog dengan para nabi dan mengirimkan wahyu
untuk hamba-Nya, al- Quran sebagai kalam Ilahi dan datang dari sisi Allah,
perintah dan larangan dari sisi Allah, semua ini merupakan perbuatan dan
ciptaan-Nya. Dan pembahasan ini termasuk salah satu dari fondasi dasar agama
Islam.
Untuk menjawab argumentasi Mu’ammar bin Ubbad kita katakan bahwa
sebagaimana Allah Swt sebagai pencipta benda-benda, Dia juga memiliki kemampuan
dan kekuasaan menciptakan huruf-huruf dan suara tanpa membutuhkan alat lidah
dan tempat keluarnya huruf (makharaij al-huruf). Manusia dengan
perantaraan mulut dan gerak lidah bisa menciptakan gelombang suara dalam bentuk
huruf dan kata-kata yang menunjukkan pada makna khusus. Allah Swt mampu
menciptakan gerak dan gelombang suaru tanpa melalui perantaraan alat jasmani.
Oleh karena itu, kalam dan perbuatan berbicara yang dinisbahkan
kepada Allah adalah bersifat hakiki dan al-Quran adalah kalam ciptaan Allah
Swt. Sebaliknya, penggunaan kata “kalimah” pada Nabi Isa As dalam al-Quran itu
bersifat majazi sebagai berikut, “Sesungguhnya al Masih Isa putra Maryam itu
adalah utusan Allah dan kalimatNya.” (Qs. Al-Nisa’ :171)
Pada penutup ini, kami perlu garis bawahi satu hal bahwa
sekalipun Allah itu sebagai Mutakallim yakni terlahirnya kalam dari-Nya dan
termasuk fondasi keyakinan
dasar agama, akan tetapi mekanisme dan tatacara
turunnya ayat-ayat al-Quran adalah persoalan yang belum jelas dan termasuk
salah satu tema pembahasan wahyu yang paling rumit.[www.wisdoms4all.com]
[8]
Syarh al-Mawaqif, jilid 8, hal. 93, Sywariq
al-Ilham, hal. 414 &555, Lama’at al-Ilahiyyat,
hal. 441, Kasyf al-Murad, hal. 224
[10]
Shirat al-Haq, jilid 1, hal. 312. Lama’aat
al-Ilahiyah, hal. 441 & 444. Syawariq al-Ilham, hal. 555. Kasyf
al-Murad, hal. 224 &170.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar