Menyiarkan agama Islam merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim, karena hal itu diperintahkan oleh Islam. Setiap muslim harus menyairkan agamanya baik yang pengetahuannya sedikit apalagi yang banyak, kepada orang lain yang belum mengetahuinya. Hal itu disebabkan karena kebenaran yang terkandung pada setiap hati tidak akan diam kecuali kebenaran itu terwujud dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Dan ia tidak akan merasa puas hingga ia menyampaikan kebenaran pada tiap orang, sehingga apa yang ia percayai itu juga diterima sebagai kebenaran oleh anggota masyarakat dan manusia pada umumnya.
Menurut Thomas W. Arnold dalam bukunya yang berjudul The Preaching of Islam, yang dikutip oleh Ridin Sofwan, dkk dalam buku yang berjudul Islamisasi di Jawa menyebutkan Islam datang ke Indonesia pada permulaan abad pertama Hijriah dan tersiar secara luas baru pada abad XIII Masehi. Tersiarnya Islam ke Indonesia (juga di benua-benua lain) adalah karena beberapa factor: sosial-politik, ekonomi dan agama. Tetapi di antara sebab itu yang paling menentukan dan merupakan factor yang paling dominan terhadap hasil yang sedemikian besar itu adalah usaha keras dari para da’i dan para mubaligh Muslim yang menganggap Nabi Muhammad sebagai standar utamanya (Uswatun Hasanah), karena telah berusaha dengan sekeras-kerasnya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia.
Adapun yang memimpin penyebaran Islam ke pulau Jawa adalah para Wali (Walisongo), merekalah yang telah berjasa memimpin pengembangan agama Islam di seluruh pulau Jawa. Kemudian menyebar ke suluruh kepulauan lain di Indonesia.(Zarkasi, 1983: 57). Karena jasa merekalah, akhirnya berhasil mengajak rakyat Indonesia ke jalan Allah SWT dan dengan cara-cara hikmah, bijaksana dan peringatan yang yang ramah, serta bertukar pikiran dengan jalan yang sebaik-baiknya sebagaimana dituntunkan oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw.(Sofwan, 2000: 231)
DAKWAH WALISONGO DI TANAH JAWA
A. Situasi Jawa Sekitar Abad 15 Masehi
Ahli sejarah menjelaskan bahwa masuknya Islam di Pantai utara pulau Jawa melalui proses mission sacre yaitu proses dakwah bi al-Hal yang dibawakan oleh para mubaligh yang merangkap tugas menjadi pedagang. (Tahir, 1957: 112-114)
Menurut Amen Budiman dalam bukunya Semarang Riwayatmu Dulu, yang dikutip oleh Ridin Sofwan menyebutkan ketika Raden Rahmat menginjakkan kaki pertama kali di pulau Jawa sekitar abad ke 15 M, kondisis sosial-politik, ekonomi, religi yang berkembang di masyarakat Jawa menunjukkan suatu ciri khas dari sebuah perubahan sosial yang mendasar sebagai akibat kemunduran Majapahit dan berkembangnya pengaruh Islam. Seorang muslim Cina yang mengikuti perjalanan ke-7 Laksamana Cheng Ho ke Jawa yang berangsung antara tahun 1431-1433 M menuturkan bahwa di Jawa ketika itu terdapat tiga golongan penduduk.
Golongan Pertama, adalah penduduk Islam dari barat yang telah menjadi penduduk setempat. Pakaian dan makanan mereka bersih dan pantas. Golongan yang kedua adalah orang-orang Cina yang lari dari negerinya dan menetap di Jawa. Pakaian dan makanan mereka baik dan banyak di antara mereka yang sudah masuk Islam serta taat melaksanakan amal ibadah agamanya. Sedangkan golongan ketiga adalah penduduk asli yang sangat jorok dan hamper tidak berpakaian. Rambut mereka tidak disisir, kaki telanjang dan mereka sangat memuja roh.(Arnold, 1981: 10).
B. Sasaran Dakwah
Dari sejak lahirnya, Islam adalah agama dakwah, baik dalam teori maupun dalam praktik. Kehidupan Nabi Muhammad sendiri merupakan contoh yang baik. Ajaran Islam adalah Universal dan agama Islam tidak membeda-bedakan warna kulit, ras dan bangsa, kedudukan sosial dan sifat-sifat incidental yang melekat dalam diri manusia. Ituah sebabnya, menurut kodratnya Islam memang harus tersiar dan diterima oleh berbagai kelompok umat manusia.(Ali, 1993: 71)
Oleh karena itu, sasaran utama yang menjadi objek dakwah Islam dari sejak awal mula adalah masyarakat luas, mulai dari keluarga, masyarakat, lingkungan dan seluruh umat manusia di dunia ini. Bahkan menjadi syarat utama bagi penyebar dakwah Islam (da’i), bahwa sebelum berdakwah Islam kepada orang lain, ia harus berbekal diri dengan keahlian yang mumpuni.
C. Tujuan Dakwah
Dalam menjalankan tugas dakwah (menanamkan nilai-nilai Islam) tentulah model dakwah Walisongo sesuai dengan tujuan dakwah Islam itu sendiri. M. Masyhur Amin menjabarkan tujuan dakwah menjadi tiga hal:
1. Menanamkan akidah yang mantap di setiap hati seseorang, sehingga keyakinannya tentang ajaran Islam tidak dicampuri dengan rasa keraguan. Salah satu upaya para Walisongo dalam rangka menanamkan akidah Islam kepada masyarakat Jawa salah satunya adalah dengan menggunakan sarana mitologi Hindu.
2. Tujuan hukum. Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Sejarah Perjuangan Sunan Ampel, yang dikutip oleh Ridin Sofwan dalam bukunya Islamisasi di Jawa menyebutkan bahwa dakwah harus diarahkan kepada kepatuhan setiap orang terhadap hokum yang telah disyariatkan oleh Allah SWT. Salah satu upaya para Wali dengan menyebarluaskan nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa agar mau mematuhi hokum syariat Islam adalah dengan membentuk nilai tandingan bagi ajaran Yoga-Tantra yang berasaskan Malima. Singkatnya kalau di kalangan pengikut Yoga-Tantra istilah Malima berkonotasi sebagai ajaran penyempurnaan batin, maka para ulama justru menetapkan bahwa apa yang disebut Malima adalah konsep perbuatan yang tidak patut dilakukan manusia yang berbudi. Konsep Malima versi para Ulama adalah: Madat (memakan candu), main (berjudi), maling (mencuri), minum (minum-minuman keras), dan madon (berzinah).
3. Menanamkan nilai akhlak kepada masyarakat Jawa. Sehingga terbentuk pribadi muslim yang berbudi luhur, dihiasi dengan sifat terpuji dan bersih dari sifat-sifat tercela. Para Wali dalam menanamkan dakwah Islam di tanah Jawa ditempuh dengan cara-cara yang sangat bijaksana dan adiluhung.(Sofwan, 2000: 252)
D. Strategi Dakwah
Menurut Ali Murtopo yang dikutip oleh Ridin Sofwan, hakikat strategi adalah tata cara dan usaha-usaha untuk menguasai dan mendayagunakan segala sumber daya untuk mencapai tujuan.
Dengan demikian startegi dakwah yang dilakukan oleh Walisongo itu bisa diartikan menjadi segala cara yang ditempuh oleh para Wali untuk mengajak manusia ke jalan Allah dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki.
Dalam berdakwah cara Wali menerapkan siasat yang bijkasana. Dalam cerita-cerita tradisional misalnya, dituturkan bahwa para Wali itu kaya akan ilmu kesaktia, jaya kawijayan. Mereka wicaksana, sugih srana lan waskita marang agal alus (Saksono, 1995: 109), itu semua merupakan bukti kelihaian dan kepandaian mereka dalam mengatur siasat dan strategi. Sedemikian tepatnya mereka menggunakan strategi dengan pendekatan psikologis, sehingga dapat menguntungkan bagi para Wali-Wali, dan juga bagi Islam yang mereka sampaikan.
Sehubungan dengan itu, muncul Sunan Kalijaga dengan sensinya melalui Gamelan Sekaten dan Saka Tatal di Masjid Demak yang dicipta dari tatal kecil semalaman saja cuma dengan sabda. Muncul pula Sunan Bonang dengan hipnotisnya yang membuat rakyat tak berdaya dengan daya mukjizatnya yang berupa mantra-mantra Jawa.
E. Metode Dakwah.
Masuk dan tersebarnya Islam di Indonesia khususnya, dan di dunia pada umunya adalah dengan dakwah. Siapa pun mengaku bahwa masuk dan tersebarnya agama Islam di Indonesia tidak dengan kekerasan, tetapi benar-benar hanya dengan kebijaksanaan dan keuletan dakwah.
Dalam berdakwah, secara konseptual Walisongo menerapkan metode yang disebut dengan istilah mau’idhah al-hasanah wal mujadalah hiya ahsan. Dasar dari metode ini merujuk kepada QS. Al-Nahl: 125
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah* dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
*Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Dalam ayat tersebut diberikan dorongan agar manusia menyeru kepada jalan Tuhan dengan hikmah serta dengan jalan yang baik dan berdiskusi bersama mereka atau membantah dengan cara yang baik pula. Ditambahkan dengan ayat itu bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa tentu lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan hanya Dia yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Sofwan, 2000: 267)
Sebagai praktek dari mau’idhah al-hasanah yang dikembangkan oleh para Wali, tokoh khusus yang diperlakukan secara professional dan dihubungi secara istimewa, langsung pribadi bertemu dengan pribadi. Kepada mereka diberikan keterangan tentang ajaran Islam, bertukar pikiran dari hati ke hati, penuh toleransi dan pengertian dari pihak Wali itu terhadap pendirian dan kepercayaan dari tokoh yang bersangkutan. Jika cara ini tidak berhasil, barulah para Wali menggunakan cara lain, yaitu wa jadilhum billati hiya ahsan. Cara ini diterapkan terhadap tokoh yang secara terang-terangan menunjukkan kurang simpati terhadap dakwah Islam.
Metode al-hikmah sebagai system dan cara-cara berdakwah para Wali merupakan jalan kebijaksanaan yang diselanggarakan secara popular, atraktif dan sensasional. Cara ini dipergunakan dalam menghadapi masyarakat awam. Masyarakat awam dihadapi secara massal, dengan tata cara yang amat bijaksana. Kadang-kadang terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum.
Dalam pergaulan hidup mereka menampakkan sikap sederhana, dengan tutur yang baik, dan sikap yang sopan, sesuai dengan tuntutan Akhlaq al-Karimah, jujur, suka menolong, terutama ikut memberikan pengobatan-pengobatan terhadap orang yang sakit, suka menolong orang yang ditimpa musibah tanpa pamrih. (Azra, 1994: 33)
Metode selanjutnya dalam dakwah Islam adalah tadarruj atau tarbiyatul ummah. Metode ini dipergunakan sebagai proses klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat agar ajaran Islam dapat dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh masyarakat secara merata, maka tampaklah bahwa metode yang ditempuh Walisongo tersebut didasarkan atas idiom likulli maqam maqal, yaitu memperhatikan bahwa setiap jenjang dan bakat, tingkat, bidang materi, dan kurikulumnya.
F. Hasil Dakwah
Menurut JS. Furnival dalam bukunya yang berjudul Hindia Belanda: Suatu pengkajian Ekonomi Majemuk, yang dikutip oleh Abdul Karim dalam bukunya yang berjudul Islam Nusantara menyebutkan bahwa Suatu keajaiban, penyebaran agama Islam di Kepulauan Indonesia adalah melalui media perdagangan. Masuknya Islam dengan perangkat budayanya justru sangat mendominasi, seimbang dengan berkembangnya agama itu di Kepulauan Indonesia dan dapat dikatakan merata dari Sabang sampai Merauke. (Furnival, 1983: 19-25). Dari penjelasan itu diambil ketentuan oleh Koentjaraningrat bahwa:
Proses yang ditempuh adalah proses penetration pacifique (perembesan secara damai), dan dapat dikatakan pula bahwa penyebaran Islam di Indonesia tidak didasarkan atas misi atau dorongan kekuasaan, akan tetapi penyebaran Islam berlangsung secara evolusi (secara perlahan-lahan). (Koentjaraningrat, 1979: 260)
Saat ini Bangsa Indonesia ini populasinya sekitar 89% memeluk agama Islam, dan sebagian besar bersinggah di pulau Jawa. (Sofwan, 2000; 281) Keberhasilan Walisongo dalam mendakwahkan Islam karena disebabkan karena beberapa hal:
1. Karena para Wali itu dapat memenuhi tuntutan dakwah dari Al-Qur’an, hadist, serta tuntutan dari ahli-ahli dakwah sebelumnya seperti keikhlasan yang murni, bersatu dalam ukhwah yang kuat terorganisir, berpegang pada dasar musyawarah serta factor-faktos sosial psikologis (kejiwaan dalam masyarakat) yang dimiliki oleh mereka.
2. Disebabkan karena factor dalam ajaran Islam itu sendiri, karena agama Islam memang merupakan agama yang mempunyai daya penetrasi (penyerapan) yang kuat, berdaya difusi/osmosi yang cepat melebihi agama mana pun. Di samping itu agama Islam itu sangat sederhana, luwes, mudah dan menarik, dapat diterima siapa pun dan bagaimana taraf kecerdasannya. Oleh sebab itu barang siapa yang mau mengikrarkan kalimat yang sederhana “Laa Ilaaha Illallah, Muhammadar Rasulullah” saja sudah dapat dianggap orang Islam.
3. Disebabkan karena situasi kondisi masyarakat Jawa dewasa itu. Dijelaskan oleh Effendi Zarkasi bahwa kesuksesan dakwah Walisongo dewasa itu karena dipengaruhi oleh kondisi yang bersamaan dengan kacaunya kerajaan Majapahit dan akhirnya runtuh sama sekali. Dalam kondisi seperti itu, akhirnya orang mulai gelisah dan rindu kepada pembaharuan, dan kerinduan ini ternayata bisa dipenuhi oleh Walisongo yang membawa Islam sebagai alat pembaharuan.
4. Menurut Zakarsi yang dikutip oleh Ridin Sofwan menyatakan bahwa Islam memberi aspirasi baru dan memperluas pandangan rakyat Jawa. Islam memberikan optimism (harapan baik) setelah lama diikat dalam suasana pesimisme (harapan hampa) dan himpitan budaya Hindu, Budha, feodalisme budaya Jawa kuno.
Alam pikiran islam yang dibawa oleh ulama-ulama sufi yang merupakan juru-juru dakwah yang paling bersemangat dikenal sebagai corak tasawuf. Sedangkan kehidupan ke-Hinduan dan ke-Budhaan di masyarakat jawa waktu itu masih kuat, maka kedatangan islam di jawa tidak dirasa sesuatu yang asing oleh rakyat.
KESIMPULAN
Situasi Jawa Sekitar Abad 15 Masehi ketika itu terdapat tiga golongan penduduk. Golongan Pertama, adalah penduduk Islam dari barat yang telah menjadi penduduk setempat. Pakaian dan makanan mereka bersih dan pantas. Golongan yang kedua adalah orang-orang Cina yang lari dari negerinya dan menetap di Jawa. Pakaian dan makanan mereka baik dan banyak di antara mereka yang sudah masuk Islam serta taat melaksanakan amal ibadah agamanya. Sedangkan golongan ketiga adalah penduduk asli yang sangat jorok dan hamper tidak berpakaian. Rambut mereka tidak disisir, kaki teanjang dan mereka sangat memuja roh.
Sasaran utama Dakwah yang menjadi objek dakwah Islam dari sejak awal mula adalah masyarakat luas, mulai dari keluarga, masyarakat, lingkungan dan seluruh umat manusia di dunia ini. Bahkan menjadi syarat utama bagi penyebar dakwah Islam (da’i), bahwa sebelum berdakwah Islam kepada orang lain, ia harus berbekal diri dengan keahlian yang mumpuni.
Tujuan Dakwah menurut M. Masyhur Amin menjabarkan tujuan dakwah menjadi tiga hal:
1. Menanamkan akidah yang mantap di setiap hati seseorang, sehingga keyakinannya tentang ajaran Islam tidak dicampuri dengan rasa keraguan.
2. Tujuan hukum, dakwah harus diarahkan kepada kepatuhan setiap orang terhadap hukum yang telah disyariatkan oleh Allah SWT.
3. Menanamkan nilai akhlak kepada masyarakat Jawa.
Strategi dalam berdakwah para Wali menerapkan siasat yang bijkasana. Dalam cerita-cerita tradisional. Sehubungan dengan itu, muncul Sunan Kalijaga dengan sensinya melalui Gamelan Sekaten dan Saka Tatal di Masjid Demak yang dicipta dari tatal kecil semalaman saja cuma dengan sabda.
Metode dalam berdakwah, secara konseptual Walisongo menerapkan metode yang disebut dengan istilah mau’idhah al-hasanah wal mujadalah hiya ahsan. Dengan menggunakan Strategi dan metode tesebut, bangsa Indonesia yang populasinya sekitar 89% memeluk agama Islam, dan sebagian besar bersinggah di pulau Jawa
DAFTAR PUSTAKA
Arnold, Thomas. 1965. The Preaching of Islam: A history of The Muslim Faith. Lahore: Sh. Mohammad Ashraf, Kashmiri, Bazar, cet ii.
Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan
Karim, Abdul. 2007. Islam Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher
Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Simuh. 1994. Kajian Islam dalam Pandangan Kejawen. Surakarta: Muhammadiyah University Pers
Sofwan, Ridin dkk. 2000. Islamisasi di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tahir, Alwi B. 1957. Sejarah perkembangan Islam di Timur jauh, terjemahan Dziya Shahab. Jakarta: Al-Maktabah Addaimi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar